Pembaharuan.com,KUDUS-Pendudukan Belanda di Indonesia banyak meninggalkan bekas dan jejak sejarah hingga saat ini. Demikian halnya di Kabupaten Kudus, sejumlah peristiwa pertempuran melawan penjajahan Belanda pernah terjadi. Salah satunya di Jembatan Kolonel Sunandar atau biasa dikenal masyarakat sebagai Jembatan Tanggulangin, yang terletak di Desa Jati Wetan, Kecamatan Jati, Kabupaten Kudus.
Jembatan Kolonel Sunandar atau biasa dikenal masyarakat sebagai Jembatan Tanggulangin, yang terletak di Desa Jati Wetan, Kecamatan Jati, Kabupaten Kudus. (FOTO : Rere)
Pada saat Belanda kembali menjajah Indonesia, atau lebih
dikenal dengan Agresi Militer Kedua, menurut Sejarawan Kudus Sancaka Dwi
Supani, peristiwa itu bermula pada tahun 1948, jembatan yang menjadi penghubung antara Demak
dan Kudus tersebut menjadi ajang pertempuran sengit antara pemuda Indonesia
dengan tentara Belanda.
“Belanda ingin menjajah Indonesia lagi sambil membonceng
sekutu,” tuturnya, belum lama ini.
Lebih lanjut Supani menceritakan rentetan kejadian yang
pernah terjadi, bermula saat pejuang Indonesia yang dipimpin Walikota
Kusmanto melakukan penghadangan di kawasan Jembatan Tanggulangin menggunakan
bambu runcing.
“Terjadilah pertempuran di situ. Senjata Belanda saat itu
sudah canggih. Kemudian kalahkan kita yang hanya menggunakan bambu runcing.
Terus mundur mundur dulu,” jelasnya.
Masih penuturan Supani, para pejuang kemudian mundur ke
eks-Stasiun Wergu, di Desa Wergu Wetan, Kecamatan Kota, Kudus untuk menyusun
strategi baru.
“Mundur dulu menyusun strategi. Kemudian menyerang dengan
strategi gerilya. Sedikit demi sedikit akhirnya bisa memukul mundur Belanda,”
kata Supani.
Untuk mengenang peristiwa pertempuran tersebut maka
dibangun Tugu Juang 45 yang terletak di Wergu Wetan, Kecamatan Kota, Kudus . Sebelum
dipindah ke Desa Wergu Wetan, Tugu Juang tersebut pernah berada di kawasan
Tanggulangin.
Pihaknya berharap di era globaliasi ini generasi muda
tetap akan mempelajari sejarah dan jangan sampai melupakan sejarah.
Karena masa depan bangsa ada ditangan mereka.
“Sebagian generasi milenial kan menganggap belajar sejarah itu membosankan dan tidak
menarik. Perlu dilakukan teknik belajar yang tepat dalam menyampaikan
sejarah agar para milenial ini menjadi tertarik mempelajarinya,” pungkas
Supani. (Rere/nug)